MEDIABBC.co.id, BANYUASIN-
Dugaan salah penerapan hukum kembali mencuat dalam kasus pidana anak yang menimpa VMR, seorang anak yang saat ini sedang menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Banyuasin. Sang ibu, Kurnia, dalam konferensi pers yang digelar pada Jumat (22/08), menyampaikan bahwa proses hukum terhadap anaknya penuh kejanggalan dan cacat prosedural.
Didampingi oleh kuasa hukumnya, Muhammad Ibrahim Adha, SH., M.H., ECIH, Kurnia mengungkapkan bahwa kasus VMR—yang terdaftar dalam perkara Nomor 3/Pid.Sus.Anak/2025/PN.Pkb—mengalami kekeliruan sejak awal dalam penerapan pasal oleh Penuntut Umum hingga pada akhirnya menjadi dasar putusan Hakim Pengadilan Negeri Pangkalan Balai dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Palembang.
“Dakwaan terhadap VMR mengacu pada UU No. 17 Tahun 2016, padahal yang seharusnya digunakan adalah UU No. 35 Tahun 2014. Ini jelas keliru karena pasal yang digunakan tidak mengalami perubahan dalam UU yang disebutkan,” ujar Adha menjelaskan.
Menurut Penasehat Hukum, dakwaan yang didasarkan pada Pasal 80 ayat (2) Jo Pasal 76C Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dianggap cacat hukum karena seharusnya merujuk pada perubahan yang terakhir yaitu UU No. 35 Tahun 2014. Kesalahan dalam merujuk dasar hukum ini dinilai bertentangan dengan ketentuan Pasal 143 ayat (1) dan (2) KUHAP serta Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE.004/J.A/11/1993 tentang penyusunan surat dakwaan.
“Cacat formil dalam dakwaan ini bukan hal sepele. Seharusnya menjadi dasar kuat untuk membatalkan seluruh proses hukum yang menyusul setelahnya,” tegas Adha.
Lebih jauh, pihak keluarga VMR juga menyesalkan bahwa proses peradilan tidak mengedepankan prinsip diversi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Padahal, hukum pidana anak seharusnya menjadikan pemidanaan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium), bukan langkah utama.
“Sidang hanya digelar enam kali dalam waktu seminggu. Tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk menelaah niat dan tindakan anak. Semua berlangsung cepat tanpa memeriksa mens rea maupun actus reus,” jelas Kurnia.
Pihak kuasa hukum juga menyoroti inkonsistensi antara isi visum dan dakwaan jaksa. Dalam visum disebutkan bahwa cairan yang disiram ke tubuh korban adalah zat kimia cair. Namun dalam dakwaan justru disebutkan secara spesifik sebagai asam sulfat.
“Zat kimia cair itu luas, tidak selalu asam sulfat. Penetapan jenis cairan harus jelas karena menyangkut berat-ringannya tuduhan,” ujar Adha.
Keluarga VMR juga menyayangkan sikap keluarga korban yang dinilai tidak konsisten. Awalnya diminta uang damai sebesar Rp50 juta, kemudian setelah keluarga VMR hanya sanggup memberikan Rp3 juta dan diterima, permintaan mendadak melonjak menjadi Rp100 juta tanpa kejelasan.
Dengan berbagai kejanggalan ini, kuasa hukum VMR menyampaikan permohonan resmi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk memutuskan perkara ini dengan vonis bebas murni, serta meminta Kejaksaan Agung melakukan evaluasi administratif terhadap jaksa yang menangani perkara tersebut.
“Kami mohon keadilan ditegakkan. Jangan sampai masa depan anak hancur hanya karena salah penegakan hukum. Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal masa depan generasi bangsa,” tutup Muhammad Ibrahim Adha.(H Rizal).