MEDIABBC.co.id – Palembang – Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Sumatera Selatan mengungkap adanya kerugian negara sebesar Rp39,8 miliar dalam proyek pembebasan lahan kolam retensi di Simpang Bandara, Palembang.
Hasil audit investigasi BPKP menunjukkan bahwa seluruh pembayaran untuk pembebasan lahan itu dianggap total loss atau kerugian total. Alasannya, lahan yang dibebaskan ternyata merupakan kawasan konservasi milik negara yang seharusnya tidak bisa diperjualbelikan.
Koordinator Pengawasan (Korwas) Investigasi II BPKP Sumsel, Ahmad Fauzi, menjelaskan bahwa audit dilakukan atas permintaan Polda Sumsel. Laporan hasil audit yang selesai pada 11 Oktober 2024 ini sudah diserahkan ke Polda untuk ditindaklanjuti.
“Kerugian negara ini muncul karena uang negara dibayarkan tanpa memberikan manfaat. Lahan tersebut masuk kawasan konservasi, jadi tidak boleh dikuasai atau diperjualbelikan,” tegas Fauzi dalam konferensi pers,pada Senin (15/9/2025).
Saat ini, BPKP menunggu perkembangan dari Polda Sumsel. Menurut Fauzi, perhitungan akhir kerugian negara akan menjadi ranah penyidikan. Selain itu, pihak BPKP sudah tiga kali memanggil orang yang mengaku sebagai pemilik lahan, namun tak pernah hadir.
Terkait hal tersebut jadi sorotan publick dan pertanyaan besar masyarakat kota Palembang siapakah yang mengaku sebagai pemilik lahan tersebut.
Salah satu penggiat anti korupsi Sumatera Selatan Supriyadi ketua Umum LSM gerakan rakyat anti korupsi (GARANSI) menanggapi permasalahan ini dengan serius.
jika itu adalah tanah konservari artinya ada beberapa pihak yang memang sengaja mengatur untuk menggarong uang negara ,dalam hal ini jelas “Masyarakat Yang Menjual Keperusahaan Dan Perusahaan Yang Menjual Ke Pemkot Sudah Dipastikan Bersekongkol”.
Karenah tidak mungkin pemerintah kota Palembang dalam hal ini dinas PUPR Bidang SDA Tidak mengetahui kalau itu tanah yang tak boleh di perjual belikan sehingga kami menilai inilah yang dibilang korupsi berjamaah,”tegasnya.
“APH Segerah ungkap semua yang terlibat dalam proses pembebasan lahan tersebut sampai ke akar akarnya,jangan tembang pilih”pungkasnya.
Tim redaksi menelusuri siapa saja yang terlibat terkait pembebasan lahan yang telah menelan anggaran milyaran itu tetapi sampai saat ini mangkrak.
Dari informasi yang di dapat bahwa Awalnya proyek ini direncanakan di kawasan Kebun Bunga, namun belakangan dialihkan ke Jalan Noerdin Panji, tepatnya di Suka Damai RT 69, 72, dan 73, Kecamatan Sukarami. Alasan yang dikedepankan: Elevasi tanah lebih rendah dan NJOP dinilai lebih “menguntungkan” dalam proses ganti rugi.
Proyek tersebut menggunakan dana APBD Sumsel melalui Bantuan Gubernur (Bangub) dengan nilai fantastis:
Tahap I (2023): Rp30 miliar
Tahap II (2024): Rp32 miliar
Total: Rp62 miliar uang rakyat!
Namun, yang memicu amarah publik adalah dugaan mark up pembebasan lahan. Harga ganti rugi yang dibayarkan justru dituding jauh melambung tinggi, bahkan disebut mencapai 400% lebih mahal dari harga pasar maupun NJOP.
(Jack)