L
Opini, News  

Ketua PEKAT Sumsel Soroti ! Kisruh PPDB 2025 di Sumsel: Saat Frustrasi Publik Berujung Aksi ‘Nyeleneh’ Ali Pudi

MEDIABBC.co.id – Palembang – Ungkapan “maka apa yang terjadi, terjadilah” nampaknya relevan dengan kondisi pasca-aksi beruntun para aktivis yang tergabung dalam Aliansi Aktivis, LSM, dan Ormas Peduli Pendidikan Sumatera Selatan beberapa waktu lalu. Mereka menyuarakan kekecewaan mendalam terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi Sumsel yang dinilai lamban merespons kekisruhan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA/SMK Negeri 2025 di Kota Palembang.

Situasi ini memicu aksi “saling lempar tanggung jawab” dan “permainan pingpong” antara Gubernur, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, hingga pihak aplikator. Kondisi ini sungguh memantik kekesalan, mengingat masalahnya bisa diselesaikan dengan lebih sederhana jika saja Pemprov melalui Dinas Pendidikan bersikap kooperatif dan fleksibel dalam menerima aspirasi masyarakat.

Opsi Solusi Diabaikan, Gubernur Terkesan Abai

Para pengunjuk rasa telah menawarkan berbagai opsi untuk menyelesaikan permasalahan PPDB 2025, seperti penambahan jumlah kursi di setiap rombel (kelas) dari maksimal 36 menjadi 40 kursi (dianggap rasional karena hanya menambah satu baris bangku), serta menambah jumlah rombel di sekolah yang belum mencapai pola maksimal 12 rombel.

Namun, tanggapan yang ditunjukkan Gubernur H. Herman Deru justru terkesan masabodoh, tak acuh, bahkan menghindar. Aspirasi yang disampaikan melalui dialog langsung dengan Sekda Provinsi, didampingi jajaran pejabat Dinas Pendidikan, Biro Hukum, dan Inspektorat, bahkan hingga dua kali pertemuan, belum mampu menggugah kepedulian Gubernur untuk mengambil kebijakan. Khususnya, terkait pencabutan SK Gubernur No. 186 yang dinilai menghambat terciptanya sistem pendidikan yang layak, berkualitas, dan berkeadilan. Wajar jika para aktivis tersulut emosinya, berulang kali mendatangi kantor Gubernur, bahkan sempat mengancam akan berkemah di halaman kantor tersebut.

Munculnya Ali Pudi dan Simbol Perlawanan Kontroversial

Dalam konteks penyampaian aspirasi yang ekspresif ini, muncullah sosok Muhammad Ali, atau lebih dikenal Ali Pudi. Jika sebagian aktivis menyuarakan rintihan masyarakat yang anaknya tidak lulus PPDB 2025, Ali Pudi, sebagai alumni aktivis ’98, justru merasakan ketidakadilan terhadap anaknya sendiri. Menurutnya, jalur domisili dalam PPDB 2025 adalah “jebakan batman” yang mengakibatkan anaknya tidak lulus.

Ali, yang dikenal gigih, tidak menyerah. Ia berupaya mencari informasi untuk “melawan” ketidakadilan dan diskriminasi pendidikan di Sumsel, khususnya Palembang. Belum jelas informasi apa saja yang didapat Ali Pudi, namun langkah-langkahnya menunjukkan ia “memberontak” terhadap ketidakadilan yang dirasakannya.

Ekspresi perlawanan Ali Pudi kemudian muncul dengan visualisasi dan simbol-simbol yang dianggap sebagian kalangan sebagai sarkasme, sindiran tajam, bahkan melecehkan. Misalnya, visual Ali menantang Gubernur bertinju, menantang pacuan kuda, hingga beberapa narasi yang cukup pedas ditujukan kepada Gubernur Sumatera Selatan.

Debat Etika dan Solidaritas Aktivis

Hal ini lantas memicu reaksi dari beberapa rekan aktivis lain yang menganggap Ali telah melanggar rambu-rambu etika dan kesantunan, serta kritikannya tidak proporsional dan mendiskreditkan.

Suparman Romans, Ketua DPW PEKAT Indonesia Bersatu Provinsi Sumatera Selatan, mencoba menganalisis simbol-simbol perlawanan Ali Pudi. “Dalam bahasa visualisasi, saya tidak/belum melihat pelanggaran etika berat sehingga ada anggapan bahwa Ali sudah melanggar hukum dan harus diseret ke ranah hukum,” Sabtu (12-07-2025).

Ia mencontohkan visual Ali menantang bertinju. “Saya tidak menemukan unsur pelecehan, karena performa Ali sama dengan performa Gubernur, sama-sama telanjang dada, sama-sama mengenakan sarung tinju (walaupun gambarnya hasil cropping). Kecuali jika Ali berpakaian lengkap sementara Gubernur bertelanjang dada,” jelas Suparman. Ia bahkan berpendapat sindiran Ali relatif sopan jika dibandingkan dengan meme terhadap Jokowi (saat menjabat presiden) yang diberi hidung pinokio. “Kalaupun visualisasi Ali dianggap bentuk pelecehan, maka sesungguhnya Ali pun telah melecehkan dirinya sendiri karena dia pun tampil dengan bertelanjang dada.”

Ancaman Konflik Internal Aktivis

Pertanyaan apakah masalah pendidikan sudah ditarik ke ranah politik masih menjadi perdebatan. Namun, Suparman Romans sempat mencoba berkomunikasi dengan rekan-rekan aktivis yang berencana melaporkan Ali ke kepolisian. “Saya menyampaikan bahwa jika memang ada cara yang lebih kompromistis, sebaiknya kita menghindari cara konfrontatif. Alasannya sederhana: jangan sampai soliditas para aktivis terbelah apalagi terpecah akibat kisruh PPDB ini,” tegasnya.

Meskipun demikian, perbedaan persepsi dalam melihat masalah PPDB ini tetap ada, sehingga laporan ke Polda tetap dilakukan, dilanjutkan dengan aksi damai untuk memberikan penekanan agar laporan segera diproses.

Prediksi Suparman tidak meleset; saat Ali Pudi diserang, semangat solidaritas dan pembelaan justru muncul. Ali tidak sendirian, gerakan solidaritas dan empati berdatangan. Kini, fase menanti ada di hadapan: ujian antara menjaga harmonisasi di satu sisi, dan semangat militansi di sisi lain.

“Bagaimana akhir drama PPDB 2025 kali ini? Cukup menarik untuk ditonton,” pungkas Suparman. Sebagai penutup, ia ingin bertanya melalui mata batin kepada Gubernur Sumatera Selatan, “Apakah memang kondisi seperti ini yang diinginkan, sementara kita selalu mengumandangkan bahwa Sumatera Selatan ZERO KONFLIK?”

 

(Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *